RAKYAT JALANAN
Kaleng kecil bekas minuman dingin yang
sedikit dipotong bagian atasnya kini sudah kelihatan kumuh, lusuh dan tak
karuan. Kaleng yang selalu aku genggam dan aku bawa disetiap langkah kakiku
kala menapaki setiap jalan perlintasan bagi benda-benda yang berkilauan dengan
warna yang beraneka ragam, berlapiskan kerangka besi dengan desain yang dari
waktu ke waktu kian nyentrik dan menarik sesuai dengan selera para pejabat dan
orang-orang berkantung tebal lainnya.
Kuku yang biasa kugunakan untuk memetik senar gitar pun kini juga sudah
mulai memanjang dan menampakkan setumpuk kotoran di sana. Kotoran yang tampak
lebih kotor dari setumpuk sampah dijalanan Ibu kota ini. Aku taruh gitar
kecilku yang selalu menemani disetiap pagi dan siangku. Aku hitung receh demi
receh yang berhasil kukumpulkan, berharap cukup untuk membeli sebungkus nasi
dan segelas air minum untuk mengisi perutku dan adikku yang sedari tadi pagi
sudah bernyanyi tak terisi makanan.
Setelah membeli makanan, aku memakannya dengan berbagi separuh dengan Dio,
adikku satu-satunya. Empat tahun yang lalu, orang tua kami bercerai lantaran
Tarmi, Ibu kandungku sudah resah dengan tingkah laku Tono, Bapakku yang
pengangguran dan suka minum-minuman keras itu. Bapak dan ibuku sering sekali
cekcok di hadapan kami berdua, tidak habis pikir, bahkan mau ngomong apa?.
Bapakku sering sekali memukul dan menampar ibuku lantaran merasa kalau
ibuku itu terlalu banyak ngomong dan terlalu mengatur dirinya. Aku dan Dio
adikku hanya bisa terdiam sambil menangis terisak-isak melihat bapak yang
sadis, dan teramat jahat terhadap ibuku yang tak dapat berbuat apa-apa lagi
selain menangis dengan tetesan air mata kepedihan dalam penyiksaan yang
dilakukan oleh suaminya sendiri Tono, bapak kandungku. Tujuh belas tahun
menikah dan akhirnya ibuku sudah tak tahan lagi dengan perlakuan yang
diterimanya dari Tono suaminya itu, hingga dipenghujung tahun 2018 ibuku resmi
cerai dan berpisah dari bapakku itu.
Setelah resmi berpisah dengan bapakku, aku dan Dio sekarang tinggal
bertiga dengan Ibuku Tarmi, sedangkan Bapakku Tono menghilang tanpa kabar. Kehidupan kami makin hari makin miris dan
memilukan. Dulunya yang biasa makan dua kali dalam sehari meskipun dibagi rata
dengan adikku, sekarang kami hanya bisa makan dua kali dalam sehari dengan
dibagi tiga bersama ibuku. Melihat hal tersebut ibuku kian hari kian larut
dalam kesedihan, sehingga akhirnya ibuku mencari peruntungan hidup dengan
menjadi TKW di negeri tetangga
meninggalkan kami berdua.
Kini tinggallah aku dengan adikku, dua serdadu kecil yang tangguh namun
rapuh mengadu nasib di pinggiran jalanan ibu kota. Satu tahun setelah kepergian
Ibu ke negeri tetangga, aku mendapat kabar kalau Bapakku Tono telah tiada, menurut kabar yang
kudengar tersebut, bapakku meninggal karna overdosis lantaran memakai
obat-obatan terlarang dan juga minum-minuman keras. Tak lama berselang, kabar
duka pun kembali datang dari negeri tetangga. Kabar yang mengatakan kalau Ibuku
Tarmi ditemukan tewas tak bernyawa lantaran gantung diri di rumah majikannya
tempat dia bekerja sebagai pembantu rumah tangga.
Lengkap sudah penderitaan maupun cobaan yang ku alami. Sedih dan teramat
sakit bahkan tak dapat digambarkan maupun diungkapkan dengan kata-kata tentang
perasaan yang aku dan adikku rasakan, terutama bagi adikku yang masih kecil.
Setelah menghabiskan makanan ini ditemani debu kendaraan bermotor dan
asap-asap mengepul dari kenalpot, kami bergegas tidur dengan beralaskan sebuah
kain lusuh dan sobek di sana-sini termakan usia. Keesokan paginya, kami
terbangun karena tetes-tetes dingin air hujan yang mulai membasahi kulit. Namun
hal itu tak menyurutkan semangat kami untuk tetap mencari walau hanya sekedar
recehan untuk bertahan hidup.
Sampailah aku disebuah bus yang penuh sesak, aku melihat beberapa murid
kelas 3 SMP sebayaku membaca buku dengan asiknya. Miris rasanya, melihat anak
seusiaku dapat melanjutkan bahkan mengenyam pendidikan dan berbagai ilmu
pengetahuan untuk masa depannya kelak. Tapi apa daya, boro-boro untuk sekolah,
untuk biaya makan saja kami masih kesulitan, apalagi ditambah untuk biaya
sekolah. Adikku pun begitu, ia putus sekolah sejak berada di kelas 4 SD. Aku
hanya bisa menghela nafas pasrah pada Sang Ilahi. Setelah turun dari bus, dua
orang preman berwajah garang menghampiriku.
“Heh anak kecil….!” bentaknya sambil menunjuk kantungan plastik tempatku
mengumpulkan recehan.
“Sini!” “Tap., Tapi, ini uang
makanku hari ini,” ucapku takut.
“Heh! Mana peduli! Biar uang makan,
sekolah atau apalah! Sini…!” bentaknya dan merampas hasil jerih payahku pagi
ini lalu meninggalkanku sendirian di tengah keramaian kota Jakarta yang penuh
sesak ini.
Mungkin banyak orang yang melihat
kejadian tadi, namun mereka menganggapnya seakan tak terjadi apapun. Ya,
mungkin itu sudah menjadi sifat dasar mereka yang acuh dan sombong.
Aku kembali berusaha mencari recehan demi recehan yang bisa kukumpulkan
sampai sore ini. Tapi nihil, aku hanya mendapat beberapa ratus rupiah yang tak
mungkin cukup untuk segelas air dan sebungkus nasi. Kutatap wajah lesu adikku yang
kelelahan dan kelaparan sedang tertidur pulas. Kulihat kantung plastiknya.
Sama, namun terlihat lebih parah dari hasil yang kudapat. Beberapa saat
kemudian, dia terbangun.
“Kak Dino” ucapnya dengan suara
parau dan wajah penuh harap.
“Maaf ya, mungkin kita bisa makan besok.” Jawabku sambil membelai rambutnya.
“Maaf ya, mungkin kita bisa makan besok.” Jawabku sambil membelai rambutnya.
Aku tertidur di sebelahnya sambil menahan rasa sakit di perutku karena
kelaparan. Sewaktu aku tertidur aku berkelana di alam mimpi, entah sudah berapa
lama aku tertidur. Saat aku terbangun kutatap wajah polos Dio, wajahnya tampak
begitu kotor dan kelelahan. Aku merasa bersalah kepadanya karena telah menyiksa
fisik dan batinnya. Dan akupun seraya memohon kepada Yang Maha Kuasa agar kami
diberi ketabahan untuk dapat tetap melanjutkan hidup.
Kuambil gitarku dan melakukan rutinitasku sebagai pengamen, satu-satunya
pekerjaan yang seharusnya tidak dilakukan oleh anak yang berusia sekitar 12 dan
14 tahun. Usia yang seharusnya menikmati masa bermain dan belajarnya. Ah
sudahlah, tak ada gunanya aku mengeluh saat ini. Pernah aku menyalahkan takdir,
namun apa daya. Tak ada hasil. Yang ada hanya penyesalan dan air mata yang kudapatkan.
Yang bisa kulakukan saat ini hanya membuang jauh-jauh pikiran masa lalu itu
yang kini hanya menjadi angan-angan belaka dan terus mengumpulkan beberapa
kepingan uang logam untuk menyambung hidup.
Sempat
terlintas di benakku. “Sampai kapankah kehidupanku akan seperti ini? Akankah
ini berakhir? Apakah ini serupa menguras air laut yang tiada habisnya? Yang
terus berlanjut hingga akhir hayat? Apakah kehidupanku memang ditakdirkan
seperti ini? Layaknya benang kusut yang tidak akan pernah lurus seperti
sediakala?” Entahlah, kuserahkan takdirku padamu Tuhan dan mungkin itu lebih baik.
Hari-hari kulewati hanya bersama dengan adikku seorang, tanpa sosok Ibu
yang mengasuh kami. Sampai pada akhirnya, preman-preman yang biasa memalaki
hasil jerih payah kami di jalan raya memukuli punggungku dengan kasarnya,
hingga mengeluarkan cairan merah kental karena aku menolak memberikan uangku
kepada mereka, lalu mereka meninggalkan kami sendiri di tengah hiruk pikuk kendaraan
yang berlalu lalang.
Kusentuh perlahan, “Aw.” keluhku lirih.
Dio menatapku dengan raut wajah cemas seolah mengisyaratkan. “Kakak tidak
apa-apakan?” atau mungkin “Kakak baik-baik sajakan?”
Tatapan yang hanya bisa kubalas dengan senyuman hambar dengan wajah pucat
pasi menahan rasa sakit di punggung ini yang seakan berisyarat, “Aku tidak
apa-apa.” yang mungkin sebenarnya berarti, “Oh tentu aku tak baik-baik saja.”
Kutatap langit dengan pikiran berkecamuk, sebuah senyum tipis tersungging
di sudut bibir ini disertai air mata yang tiba-tiba nampak mendobrak keluar
dari mata mungil ini. Bayangan lima tahun yang lalu mulai nampak lagi, seakan
terputar ulang secara otomatis. Bayangan saat keluargaku masih utuh meski serba
kekurangan dan penuh dengan cobaan. Setidaknya itu bisa melupakan sejenak rasa
sakit di punggung ini, lama kelamaan akupun tertidur pulas. Sampai akhirnya aku
terbangun saat sorotan sinar langit senja sudah menghiasi langit, sorotan
acak-acakan yang bisa menghasilkan lukisan indah yang tiada tandingnya. Oh
mungkin aku terlalu lama tertidur karena rasa sakit yang begitu menyiksa ini.
Aku lihat dari ujung jalan Dio berjalan sambil menenteng sekantung
plastik berisi nasi bungkus dan air minum. Aku tatap iba kepadanya, Sempat aku
menolak memakannya, tapi ia tetap bersikeras memaksaku dengan mengatakan,
“Kakak harus memakannya agar kakak lekas sembuh dan kita bisa mengamen
lagi bersama-sama .”ucapnya.
Dalam hati aku bersyukur telah diberikan sosok adik yang penuh pengertian
dan bisa menerima apapun yang terjadi, apapun keadaan kami.
Setelah hari itu berakhir, kami kembali bekerja keras. Tanpa belaian
kasih sayang. Tak jarang pula orang memandang kami dengan jijik dan enggan
memberikan bantuan kepada kami. Namun di dunia ini beruntung masih saja ada
orang yang beretika dan hati baik berkeliaran di sekitar kami. Seperti ada yang
mau dan tidak malu untuk memberikan sekotak nasi, ataupun sebotol susu kepada
kami. Tapi sejak hari itu aku bertekad, aku takkan pernah berhenti berjuang
menghadapi lika-liku kehidupan ini, setidaknya untuk saat ini, berharap hari
esok aku dan adikku tetap bisa melanjutkan hidup.
Dan kuharap suatu saat nanti, kehidupan yang layak dan yang
kudambakan selama ini kehadirannya akan
datang. Kehidupan yang serba berkecukupan dan mampu. Mampu dalam artian yang
luas, semisal mampu mengecam pendidikan, makan yang teratur, pakaian yang bagus, tempat
tinggal dan kehidupan yang layak di banding kehidupan yang sedang kami alami.
Dan juga aku percaya, tidak ada satupun di dunia ini, yang bisa didapat dengan
mudah. Kecuali hanya dengan Kerja keras dan doa yang akan mempermudah kehidupan
ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar